Agama dan Kartu Tanda Penduduk

Banyak ketentuan dan hukum di negara ini yang masih perlu peninjauan ulang dan perdebatan argumentatif. Hukum dan peraturan yang berlaku di suatu negara seharusnya memiliki dasar-dasar argumen yang kuat dan dibuktikan dengan serangkaian perdebatan dan pembahasan yang lebih mendalam.

Salah satu produk peraturan lama yang sebenarnya kurang memiliki dasar yang kuat ialah pencantuman status ‘Agama’ dalam Kartu Tanda Penduduk. Peraturan mengenai pencantuman tersebut semakin lama semakin terbukti tidak lagi sesuai, tidak efektif, kerap berdampak negatif, dan kontra-produktif.

Fungsi dasar Kartu Tanda Penduduk adalah sebagai kartu identitas resmi sebagai penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh aparat negara. Melalui KTP seorang warga negara di-identifikasi sesuai ciri-ciri khasnya sebagai identitas yang unik. Indonesia bukanlah negara agama, sehingga kurang pantas kiranya apabila dalam kartu kewarganegaraan dicantumkan ‘Agama’ sebagai bagian dari identitas.

Apabila di dalam paspor (termasuk Paspor Republik Indonesia) tidak ada keterangan mengenai agama seseorang, mengapa ‘Agama’ dimunculkan dalam KTP? Apakah justru kita sebagai sesama bangsa Indonesia membeda-bedakan orang atas dasar agama? Sementara masyarakat internasional sudah mengakui bahwa agama adalah sesuatu yang pribadi sifatnya dan tidak perlu menjadi bagian dari identitas resmi.

Lebih menarik lagi kalau kita tinjau UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2 (amandemen ke-3), yang berbunyi:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Disitu disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama, bukan wajib memeluk agama apalagi wajib memeluk salah satu dari lima agama. Akan tetapi, pencantuman ‘Agama’ dalam dokumen KTP justru malah menjauhkan manusia (Indonesia) dari konsep beragama itu sendiri. Melalui sistem tersebut, penduduk Indonesia yang wajib memiliki KTP secara langsung ‘diwajibkan’ pula untuk memeluk atau setidaknya mengaku memeluk sebuah agama yang diakui pemerintah.

Sementara, hakikat seseorang memilih agama adalah karena dengan bebas, sadar dan dengan nurani yang tulus memilih ajaran agama yang sudah dipelajarinya dengan baik – bukan dengan menerima secara buta semua yang orang lain katakan, dan tentu juga jangan sampai memilih agama hanya untuk ‘fill in the blank’ dalam KTP. Masalah kepercayaan seseorang kiranya tidak sesedehana pilihan ganda dan masalah apa kepercayaan serta iman seseorang kiranya bukan pula urusan negara.

Tulisan ini sama sekali tidak menganjurkan bangsa ini untuk tidak beragama, bahkan sebaliknya urusan agama seseorang adalah urusan yang sakral antara individu dengan Yang Maha Kuasa, bukan dengan negara ataupun melalui perantara pemerintah. Terlebih lagi agama adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan untuk diketahui umum. Dalam keadaan sekarang, siapa pun yang pernah melihat atau bahkan memiliki salinan KTP seorang penduduk Indonesia, bisa mengetahui agamanya –dan menyalahgunakan pengetahuan ini.

Lantas bagaimana dengan implementasi kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani? Apabila hati nurani seorang Indonesia memilih kepercayaan diluar ‘the acknowledged five’ bagaimana? Pribadi tersebut dilanggar hak-nya untuk menyatakan pikiran dan sikap sebagai identitasnya melalui KTP, tidak seperti saudara-saudara sebangsanya yg beragama Katholik, Islam, Hindu, Buddha, atau Kristen. Apa ini adil dan bebas?

Apakah UUD 1945 memang menjamin kebebasan tapi peraturan dibawahnya tidak? Keadaan ini sebetulnya berbahaya karena justru akan mengakibatkan kemunafikan. Siapa saja boleh dan bebas menyatakan agama atau keyakinannya di negara ini, tapi rupanya tidak sebebas itu dalam praktek kependudukan, dalam hal ini KTP.

Kemunculan istilah ‘Islam KTP’ atau ‘Kristen KTP’ dan sejenisnya sebetulnya bukan saja menyindir individu yang dimaksud, tetapi keseluruhan sistem dan tata masyarakat, terutama format KTP itu sendiri. Dalam periode seperti sekarang dimana agama seringkali disalahgunakan, ada baiknya kalau kita sebagai bangsa menilik kembali fungsi dasar dan tujuan manusia beragama.

Semoga para pejabat dan wakil rakyat yang terhormat sudi meninjau permasalahan ini kelak… bila sudah mulai bisa teratur bersidang.

-Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Indonesia. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    The Strategic Case of Climate Change for Indonesia

    It is critical to frame the issue of climate change as a problem to the population. It should not be seen only as a problem to the environment, since it also poses grave challenges to social and economic development. Planet Earth has been in existence for more than four billion years and has gone through solar storms, meteor impacts and several ice ages. Several dozens of high-grade hurricanes and meters of rising sea level will not jeopardize the planet as much as it will demolish the people living on it.The window of opportunity for Indonesia to embed climate change considerations into its development plan and muster international support to undertake a low carbon development is still open – but not for long.