Budaya Senjata di Amerika

Vox Populi, Vox Dei?

Hampir setiap hari kita dengar berita tentang penembakan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Tetapi ada sesuatu yang berbeda dari insiden pada hari Senin lalu. Lebih dari 30 pelajar dan dosen tewas di sebuah kampus. Bukan di Baghdad, bukan di Kabul, dan juga bukan di jalur Gaza; tetapi di Blacksburg, negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Pelaku penembakan diduga bukan “teroris” maupun perampok –tapi mahasiswa berumur 23 tahun.

Di tengah sorotan media internasional, insiden dengan skala seperti ini memicu kembali perdebatan tentang kebijakan kepemilikan senjata api (gun control) di Amerika Serikat. Apakah kini sudah saatnya mencabut hak mereka untuk memiliki senjata? Kita juga bisa beranjak lebih jauh dari sekedar perdebatan sengit yang ditayangkan beragam stasiun televisi Paman Sam untuk mencoba menarik pelajaran yang bisa kita petik bersama.

Mencoba Memahami Budaya Senjata di Amerika

Kebebasan memiliki senjata api di Amerika Serikat dijamin oleh undang-undang dasar mereka, bahkan termasuk di dalam hak-hak dasar yang tercantum dalam Bill of Rights yang merupakan amandemen pertama konstitusi. Amandemen tersebut terjadi sekitar dua abad yang lalu di awal terbentuknya sebuah negara Amerika Serikat. Hak untuk memiliki senjata berlatar belakang perjuangan melawan tentara kolonial Inggris oleh milisi dan sebagai pengejewantahan hak bela diri jika pemerintah bertindak semena-mena.

Selain latar belakang konstitusional, kepemilikan senjata api juga merupakan sebuah budaya yang sulit dipisahkan dari kehidupan orang Amerika. Sejak awal masa coloni, mereka terbiasa dengan keberadaan senjata api sebagai bagian dari “perkakas” rumah tanga. Kebanyakan masyarakat waktu itu tinggal di daerah rural dimana masih banyak binatang liar berkeliaran. Senapan dibutuhkan untuk menghalau mereka dan melindungi kawanan ternak. Senjata api juga dipakai untuk berburu –yang semula memang berawal dari kebutuhan namun lama-kelamaan berubah menadi sekedar hobi dan olah raga.

Senapan bagi orang Amerika mungkin bisa dianggap layaknya rencong bagi orang Aceh, kujang bagi orang Sunda, atau mandau bagi orang Dayak. Gambaran seorang Davy Crockett dengan senapan laras panjangnya mungkin sama membanggakannya bagi orang Amerika seperti orang Jawa melihat gambar Pangeran Diponegoro dengan keris andalannya. Bisa dibayangkan betapa akan terusiknya orang Jawa jika tidak lagi diberi kebebasan memiliki keris.

Pelajaran bagi Kita: Evaluasi terhadap “Kehendak Rakyat”

Meskipun begitu, budaya tidak dapat dijadikan pembelaan terhadap sebuah kebebasan yang telah terbukti merenggut banyak nyawa. Angka kriminalitas dan kematian akibat senjata api di Amerika Serikat tidak pernah surut. Semua kesatuan polisi dari pantai barat sampai pantai timur menghendaki kontrol senjata yang jauh lebih ketat tetapi kongres rupanya lebih takut kehilangan suara pemilih yang dinaungi kelompok lobi politik “pencinta” senjata.

Itulah keadaannya disana. Tapi siapakah kita untuk menuding dan menunjuk bangsa lain tentang kekurangannya sementara kita sendiri masih tenggelam dalam sejuta tantangan yang juga butuh banyak energi dan perhatian. Hal yang mungkin lebih bijak dilakukan adalah turut belajar dari kasus penembakan di kampus Virginia Tech, setelah kita mengetahui latar belakang dan konteksnya.

Peraturan tentang pembelian senjata api bagi sipil di Virginia sebenernya sudah diperketat. Hukum disana kini membatasi pembelian senjata api maksimal satu pucuk per orang per bulan. Terdengar konyol bagi kita? Bagaimana dengan lusinan peraturan yang ada di negeri kita sendiri, dari mulai tingkat pusat sampai daerah yang seringpula terdengar konyol. Aturan tentang kebebasan kepemilikan senjata api di Amerika berasal dari zaman kolonial Inggris. Kita pun tidak jauh berbeda. Banyak sekali hukum kita masih berasal dari zaman kolonial Belanda, bahkan beberapa pihak mengadvokasikan peraturan-peraturan yang lebih absurd lagi dalam konteks kekinian. Boleh saja mengatasnamakan budaya atau lainnya, tetapi jika justru malah dalam prakteknya menjauhkan masyarakat dari kemaslahatan, lantas buat apa?

Benang merah yang dapat ditarik adalah kehendak “masyarakat“ mungkin bukanlah yang terbaik bagi masyarakat itu sendiri. Wacana yang mungkin berharga jutaan suara dalam Pemilu atau tingkat popularitas tidak menjamin mendatangkan kebaikan. “Kebijakan” pemerintah seyogyanya dibuat sebijak mungkin dengan menjaga keseimbangan antara kehendak rakyat dan apa yang terbaik bagi rakyat. Mandat pemerintah termasuk memimpin rakyat untuk “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jika muncul wacana yang memundurkan kesejahteraan umum dan berpotensi membodohkan masyarakat, maka pilihannya seharusnya jelas. Terlebih kehendak “masyarakat” semacam itu biasanya bukanlah kehendak rakyat tetapi sekelompok golongan yang dengan lihai mengatasnamakan rakyat.

Terlepas dari ini semua, marilah kita tetap hormati kedaulatan setiap negara dan bangsa di muka bumi ini untuk membuat aturannya masing-masing –dan berharap supaya kebijakan mereka adalah demi kemanusiaan. Vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)? Dengar dulu baik-baik!

-In memoriam Partahi Lumbantoruan, kandidat doktoral di Virginia Tech University-

Rotterdam, 18 April 2007,
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial and tagged , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Forum Rektor Siap Rangkul Komunitas Indonesia di Luar Negeri

    Kesediaan tersebut disampaikan Ketua Forum Rektor Indonesia, Sofian Effendi ketika menemui masyarakat profesional dan mahasiswa Indonesia, di sela-sela kunjungan kerjanya di Belanda. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Roch Basoeki, Presidium Barisan Nasional, didiskusikan pula tentang Hasil Konvensi Kampus ke-3 dan Temu Tahunan ke-9 Forum Rektor Indonesia.