Agama vs. Nurani

Umat manusia telah menjadi saksi terhadap penyalahgunaan ajaran agama dari sekedar sikap acuh tak acuh sampai ke skala sedahsyat perang salib. Perkembangan teknologi, yang tadinya diharapkan semakin mendewasakan pemikiran sempit agamis ternyata membawa pedang bermata dua. Selain penyebaran iman dan pendidikan agama semakin mudah disebarluaskan, demikian pula propaganda hitam yang berusaha menyulut perpecahan dan konflik antar pemeluk agama.

Para provokator, entah sadar akan fungsi provokasi yang mereka emban atau tidak, seringkali patut diacungi jempol atas pengetahuan agama dan sejarahnya. Bukan saja mereka tampak sangat mendalami ajaran agama sendiri, tapi juga menguasai betul seluk-beluk dan celah ajaran agama lain. Sungguh patut dicontoh kemauan keras mereka untuk belajar mengenai agama lain. Sayangnya, tidak diimbangi dengan pemikiran terbuka tapi dibutakan dengan motivasi kelam.

Lebih sayang lagi, pengetahuan agama ini sering dipakai sebagai peluru untuk saling menyerang dan malah yang digali lebih dalam adalah perbedaan doktrin dan interpretasi semata. Kejadian demi kejadian dirangkai sedemikian rupa dengan latar belakang agama sehingga seolah-olah adalah valid untuk menarik kesimpulan generalisasi.

Kenapa yang digali lebih dalam bukannya persamaan mendasar dari semua agama -yaitu menciptakan kehidupan manusia yg teratur dan damai. Padahal ini semua bisa dicapai bila kita mau mendengarkan hati nurani yang seringkali lebih mengarahkan ke arah yang benar ketimbang penggalan ayat dari Kitab Suci yang diambil diluar konteks apalagi disertai interpretasi sempit nan absurd.

Hati nurani memang tidak perlu bertentangan dengan ajaran agama, malah seharusnya sinkron. Akan tetapi nurani adalah filter dimana kita bisa menyaring seruan-seruan berbau agamis yang justru bisa menjauhkan manusia dari hakikat beragama itu sendiri.

Amat sangat disayangkan jika waktu dan kemampuan otak anak bangsa dihabiskan untuk mencari perbedaan untuk peluru menyerang ‘lawan’; ‘lawan’ yang sebenarnya produk imajinasi konspirasi dan paranoia belaka. Lebih baik waktu dan otak kita dipakai untuk lebih menjalin hubungan yang makin harmonis antar agama – dan lebih penting lagi antar manusia Indonesia.

Di jaman bangsa (dan dunia) ini justru lagi sering-seringnya digempur oleh aksi-aksi pengancuran yg membawa-bawa bendera agama, selayaknya kita sebagai orang yang (semoga) lebih waras daripada para pembunuh dan perusak itu menunjukkan kepada mereka bahwa violence does not work!

Tunjukkan bahwa hati nurani lebih berarti daripada pandangan picik terhadap ajaran agama. Kita sebagai manusia (muda) Indonesia jangan membiarkan aksi-aksi teror itu berhasil mencapai tujuannya, yaitu memecah belah bangsa atas dasar agama. Dengarkan hati nurani dan pakai otak kita, hanya dengan begitu masalah bisa terselesaikan.

– Rotterdam , November 2004

This entry was posted in Editorial. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Oliver Wendell Holmes and the Old Ironsides

    In 1830, young Oliver Holmes wrote a contradictive poem entitled ‘The Old Ironsides’. The poem was about a United States Navy battleship USS Constitution that was about to be dismantled. This fictional script adopts the setting similar to that of a television talkshow. Although the characters represented in the script are not completely accurate and some even blundered for comedy effects, the facts about Mr Holmes and USS Constitution are real.